Terdapat tiga risiko yang dapat menimbulkan ketidakseimbangan internal dan eksternal dalam perekonomian Indonesia yang perlu diwaspadai sejak dini. Ketiga fator tersebut adalah ketidakpastioan ekonomi global, capital inflow, dan tekanan inflasi.
Risiko dari ketidakseimbangan ekonomi global seperti melambatnya ekonomi negara maju dan moderasi akselerasi emerging market dapat menyebabkan menurunnya permintaan eksternal terhadap ekspor emerging market termasuk Indonesia.
Sementara derasnya aliran modal asing (capital inflow) dan isu perang kurs di mana kebijakan quantitative easing tahap kedua dari AS akan mengakibatkan berlanjutnya aliran capital inflow yang deras dan tekanan apresiasi nilai tukar emerging market termasuk rupiah.
Sedangkan kuatnya permintaan domestik untuk mendorong pertumbuhan di emerging market termasuk Indonesia akan mendorong peningkatan tekanan inflasi terutama bila respon sisi penawaran tidak secepat akselerasi sisi permintaan.
“Sejumlah risiko tersebut perlu diwaspadai untuk menjaga keseimbangan internal dan eksternal agar peningkatan ekonomi nasional berkelanjutan,” pungkas Direktur Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Perry Warjiyo dalam Proyeksi Ekonomi 2011 yang digelar Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Kamis (23/12) pekan lalu.
Sementara pengamat ekonomi Indef, Deniey Adi Purwanto memprediksi kondisi perekonomian pada 2011 masih diwarnai dengan peningkatan arus modal yang semakin deras dan berpotensi menyebabkan gelembung (bubble). “Ada beberapa antisipasi yang harus dilakukan karena ada resiko peningkatan inflow dari ketidakpastian pemulihan ekonomi Eropa dan Amerika Serikat dan kontraksi ekonomi China serta India,” ujarnya.
Untuk itu, ia mengatakan diperlukan instrumen dan kebijakan untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya gelembung dan arus balik dana jangka pendek (sudden reversal). Menurut dia, kebijakan yang dilakukan Bank Indonesia seperti kebijakan Giro Wajib Minimum (GWM), pelonggaran Devisa Netto (PDN) dan penghentian sementara penerbitan SBI 1 bulan dan 3 bulan untuk mengatasi arus modal, berjalan kurang efektif.
“Kebijakan ini ditujukan untuk menahan derasnya inflow, sambil berharap mengalihkan pada investasi sektor riil jangka panjang. Namun, ketersediaan infrastruktur, serta energi menjadi masalah mutlak untuk mentransformasi dana tersebut untuk investasi jangka panjang,” ujar Deniey.
Risiko lain yang mungkin dihadapi pada 2011, ia menambahkan adalah semakin terbukanya sistem perdagangan global dan peningkatan harga komoditas dunia serta ketidakpastian iklim yang dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan menyebabkan tekanan inflasi. “Semuanya memerlukan tindakan antisipasi dan diperlukan satu sistem mitigasi yang dapat mengelola resiko menjadi oportunitas,” ujarnya.
Ia mengatakan, untuk itu dibutuhkan akselerasi untuk menghadapi semua tantangan tersebut dengan mempercepat peningkatan infrastruktur dan energi dan pemulihan intermediasi perbankan. Kemudian, lanjut dia, juga diperlukan percepatan revitalisasi industri pengolahan dan pertanian serta percepatan pembangunan daerah perbatasan dan daerah tertinggal.
Selain itu, pemerintah juga perlu untuk mengefektifkan fungsi-fungsi anggaran negara dengan mempercepat penyerapan anggaran, terutama yang terkait dengan pembangunan infrastruktur, energi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. “Penyerapan anggaran harus ditingkatkan agar lebih efektif, kalau hanya sekitar 70-80 % penyerapan tiap tahun, apakah anggaran efektif untuk tujuan pembangunan infrastruktur seperti jembatan,” ujarnya.
Secara keseluruhan, dengan pertimbangan kondisi perekonomian 2010, maka diperkirakan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,0 hingga 6,4 % dengan baseline 6,1 %, inflasi pada kisaran 5,8-6,2 %, nilai tukar pada perkiraan Rp8.900-Rp9.300 dan SBI 6,4-6,6 %.
Sementara Chief Economist Dana Reksa Institute, Purbaya Yudi Sadewa dalam “HIPMI Economic Outlook 2011″ di Jakarta, Kamis mengatakan, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2011 bisa mencapai 6,4 %, selain karena ekspektasi pasar yang tetap positif trennya, juga harus ada keberanian dari pemerintah untuk mencapai target dan program yang telah dicanangkan.
Ia memperkirakan, situasi Indonesia yang kondusif ini hingga 2016, ekonomi akan terus ekspansif sehingga bisa dikatakan ke depan akan sangat cerah. “Hambatannya cuma satu yakni prilaku sistem yang jarang berubah,” katanya.
Ekonomi senior Mirza Adityaswara malah menilai, saat ini kondisi Indonesia seperti era 90-97 yang ditandai dengan stabilnya politik, pasar finansial booming dan suku bunga berada pada level terendah sepanjang sejarah, serta perbankan sehat karena sudah direkap semua. “Artinya perbankan sudah punya modal dan bahkan beberapa sudah right issue. Jadi, bisa dibilang 80 % dari ekuitas mendukung untuk pertumbuhan ekonomi,” katanya.
Oleh karena itu, tegasnya, untuk bisa tumbuh 6,3-6,5 % sangat mungkin dicapai dan bila ingin lebih tinggi harus kerja lebih keras lagi, terutama penyediaan infrastruktur dan koordinasi pusat-daerah dan penyerapan APBN dan APBD.
Namun, tambah Mirza, tantangan yang layak diwaspadai adalah apakah Eropa benar-benar bisa keluar dari krisisnya. “Tapi saya yakin masa IMF dan Amerika mau akan dibiarkan jatuh lagi untuk kedua kalinya setelah krisis global 2008. Kalau ini bisa dilewati, maka 2011 bisa dilewati dengan baik,” katanya.
Sementara itu, bagi pebisnis yang juga Chief Executive Officer (CEO) Northstar Pacific, Patrick Waluyo, dirinya kuatir dengan persoalan inflasi yang dikhawatirkan akan menjadi masalah, terutama terkait dengan rencana pembatasan subsidi BBM yang pada sisi lain adalah menaikkan harga jualnya ke harga pasar.
“Itu jelas akan memicu inflasi. Jika tak terkendali bisa hingga 40 %. Jika ini terjadi, maka otoritas moneter pasti akan memainkan instrumen suku bunga lagi dan akhirnya terjadi pelambatan ekonomi. Ini harus dipikirkan oleh pemerintah,” katanya.
Namun, jika hal itu bisa dikendalikan dengan baik, maka posisi dan situasi ekspansif ekonomi Indonesia akan tetap terjaga. “Kongkritnya, saat ini adalah waktu yang tepat untuk ekspansi. Kita punya pondasi yang baik. Iklim yang baik. Mestinya kita dalam posisi yang baik. Waktunya untuk ekspansi habis-habisan. Kita lihat juga banyak sekali investor luar bahkan mau masuk ke Indonesia,” katanya.
No comments:
Post a Comment