Saturday, January 1, 2011

Korupsi dan kekuasaan

Korupsi dan Kekuasaan ibarat dua sisi mata uang. Korupsi selalu mengiringi perjalanan kekuasaan dan sebaliknya, kekuasaan merupakan pintu masuk bagi tindak korupsi.
Makna korupsi dari beragam defenisi korupsi pada dasarnya adalah perilaku yang menyimpang dari aturan etis formal, menyangkut tindakan etis formal seseorang dalam posisi otoritas publik yang disebabkan oleh motif pertimbangan pribadi, seperti kekayaan, kekuasaan dan status. Korupsi juga sering dimengerti sebagai penyalahgunaan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi, namun korupsi juga bisa dimengerti sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip ”mempertahankan jarak”, artinya dalam pengambilan kebijakan baik di sektor swasta atau oleh pejabat publik, hubungan pribadi atau keluarga tidak memainkan peranan.
Krisis yang terjadi di indonesia bermula dari kemerosotan nilai tukar rupiah. Karena penanganan yang bertele-tele yang jauh menyentuh akar permasalahannya, krisis merembet hampir keseluruh aspek perekonomian, sehingga menjelmalah krisis ekonomi yang berkepanjangan. Penyakit-penyakit ekonomi yang selama ini tertutupi oleh “gemerlap” indikator-indikator makro ekonomi dan serangkaian pujian dari lembaga-lembaga international satu demi satu terungkap. Semakin nyata pula bahwa penyakit – penyakit ekonomi itubukan semata-mata Berasal dari faktor-faktor ekonomi, melainkan juga sebagai produk dari sistem dan mekanisme politik yang tidak sehat.
Sekali prinsip mempertahankan jarak itu dilanggar dan keputusan dibuat bedasarkan hubungan pribadi atau keluarga, maka korupsi akan timbul. Contohnya konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak itu adalah landasan bagi organisasi apapun untuk mencapai efisiensi.
Gambaran buram tentang kekuasaan dikarenakan kita sering merujuk praktik kekuasaan yang digenggam oleh politisi busuk. Akan tetapi, kekuasaan itu cenderung korup sebenarnya bisa ditepis ketika hadir kekuasaan yang amanah,adil,dan demokratis serta memiliki visi dan komitmen tentang clean government and good gevernance.
Kepemimpinan yang amanah adalah kepemimpinan yang mengedepankan keteladanan, transparansi dan akuntabilitas dalam memegang kekuasaan.
Kepemimpinan yang adil adalah kepemimpinan yang mengedepankan supremasi hukum dan memberlakukan hokum bagi semua pihak atas dasar rasa keadilan masyarakat tanpa sikap diskrimatif.
Kepemimpinan yang demokratis adalah kepemimpinan yang partisipatif.
Disinilah urgensi kita harus memilih pemimpin yang memenuhi kriteria itu, bagaimana mungkin kita menyapu lantai dengan sapu yang kotor. Ketidak berdayaan hukum dihadapan orang kuat, ditambah minimnya komitmen dari elite pemerintahan menjadi factor penyebab mengapa KKN masih tumbuh subur di Indonesia.
Untuk memilih pemimpin, kini telah menemukan kembali momentumnya melelui Pemilu dan Pilpres. Dalam prespektif demokrasi, pemilu memiliki dua fungsi pokok, pertama sebagai saran memperbaharui dan memperkokoh legitimasi politik penguasa yang sedang berjalan. Hal itu terjadi jika pemerintah dan partai yang berkuasa aspiratif bagi kepentingan rakyat, melaksanakan agenda reformasi, menegakkan keadilan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Kedua sebagai sarana mendelegilimasi pemerintah lama dalam bentuk pemerintahan baru. Jika pemerintah dan partai yang berkuasa tidak aspiratif, mengabaikan amanah reformasi, pemilu menjadi momentum untuk melakukan suksesi kepemimpinan nasional, baik level eksekutif maupun legislatif dari pusat hingga daerah.
Awalnya Adalah Dari Penguasa
Penguasa yang memberikan akses kepada pengusaha untuk mengekploitasikan ekonomi tentu hampir bias dipastikan akan merugikan konsumen atau masyarakat luas. Dilain pihak pengusaha diuntungkan. Namun bagian dari keuntungan tersebut harus diserahkan kepada pemberi akses(penguasa). Apakah perekonomian secara keseluruhan dirugikan? Kerugian konsumen hampir selalu lebih besar dari keuntungan pengusaha dan penguasa.
Dari ilustrasi di atas, satu hal yang menonjol adalah aspek redistribusi manfaat yang terjadi dari konsumen (masyarakat) kepada pengusaha dan penguasa. Praktek-praktek seperti ini sangat banyak terjadi, misalnya pada kasus tata niaga terigu, cengkeh, gula, minyak sawit, beras, dan premix; lalu pada kasus jalan tol, IPTN, maskapai penerbangan Sempati, Bandara di Batam. Ini yang besar-benar. Masih banyak lagi untuk kasus berskala menengah, apalagi yang kecil-kecil.
Dampaknya Pada Sosok Ekonomi
Yang pasti praktek-praktek yang mendistorsi perekonomian akan menyebabkan alokasi sumber daya menjadi tidak optimal, sehingga lambat-laun memperlemah potensi perekonomian untuk tumbuh dan berkembang dengan basis yang kokoh. Hal ini tercermin dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekalipun cukup tinggi tetapi lebih rendah dari yang dicapai oleh negara-negara sekawasan. Kalau kita sekedar ingin menduga besarnya nilai ekonomi dari korupsi dan berbagai bentuk penyimpangan lainnya, maka kita tinggal menghitung selisih tingkat pertumbuhan ekonomi rata-rata negara sekawan dengan perumbuhan ekonomi Indonesia, lagi selisih itu dikalikan dengan nilai Produk Domestik Bruto Indonesia. Angkanya mencapai triliunan rupiah.
Dampak kedua terlihat dari lemahnya sosok perekonomian. Sektor-sektor yang tumbuh pesat adalah justru yang basisnya lemah, sehingga mudah diterpa badai globalisasi dan liberalisasi. Sebaliknya, sektor-sektor yang potensial yang mana Indonesia memiliki keunggulan komparatif tidak mampu berkembang dengan optimal. Akibat selanjutnya adalah alokasi sumber daya, termasuk sumber daya manusia, semakin terkonsentrasi pada sector-sektor penghasil rente yang sangat distortif.
Dampak ketiga terlihat pada distribusi pendapatan yang semakin timpang dan penguasaan kekayaan yang semakin terpusat, yang mekanisme transmisinya telah dijelaskan di muka.
Birokrasi Dan Korupsi
Sosok birokrasi Indonesia dewasa ini tak terlepas dari sejarah panjang masa penjajahan Belanda dan Jepang serta konstelasi politik pascakemerdekaan. Di masa penjajahan birokrasi lokal merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan kolonial. Para pemimpin di tingkat lokal memperoleh legitimasi dari penguasa kolonial. Sekalipun terjadi beberapa upaya untuk lebih menempatkan birokrasi lokal sebagai pelayan masyarakat, namun dalam kenyataan pada umumnya birokrasi lokal yang didominasi oleh kalangan priyayi sampai batas-batas tertentu lebih mengutamakan kepentingan mereka sendiri.
Dalam menghadapi era baru yang ditandai oleh semakin kompleksnya tuntutan masyarakat serta persaingan yang kian tajam dalam percaturan global, birokrasi dituntut untuk lebih peka terhadap perubahan- perubahan di atas. Birokrasi tidak saja dituntut untuk lebih efisien dan produktif, melainkan juga turut berperan dalam mengantarkan masyarakat Indonesia menghadapi tantangan-tantangan baru. Dengan kata lain dituntut adanya pembaruan di dalam birokrasi Indonesia.
Birokrasi yang jujur dan bersih, maka kita bisa berharap sosok penguasa yang selalu berada pada relnya. Dengan begitu baru kita bisa mewujudkan masyarakat madani.

No comments:

Post a Comment